Bertemu Fatima di Hotel Tua

foto : taiwannews.com

KAMI baru saja melewati pintu masuk sebuah hotel tua bergaya arsitektur Renaisance siang itu, ketika perasaan tak nyaman sudah menyergap. Bulu kuduk ku berdiri, lazimnya ketika bertemu bangsa lelembut. Kulirik empat temanku, Adrian, Sheila, Puno, dan Chintya. Mereka pun sepertinya dihinggapi perasaan serupa.

Adrian yang masuk pertama, berhenti sebentar di pintu, sambil menarik nafas panjang seperti ada sesuatu yang menyesaki dadanya. Sementara Chintya, Sheila, dan Puno langsung menebar pandangan ke berbagai arah, seperti sedang memeriksa seluruh sudut ruang lobi hotel itu.

"Pasti ada yang tidak beres dengan tempat ini," gumamku dalam hati.

Bagi kebanyakan orang, keanehan seperti ini mungkin bisa membuat mereka membatalkan diri untuk menginap. Tetapi bagi para pemburu hantu seperti kami, perasaan-perasaan aneh ini malahan membangkitkan keinginan untuk tinggal dan mengungkap misteri di baliknya.

"Selamat siang. Nama saya Fatima. Ada yang bisa kami bantu ?" tanya seorang perempuan cantik di balik meja resepsionis.

"Selamat siang, saya Robbie. Bisakah kami booking dua kamar yang bersebelahan dan ada pintu penghubungnya," jawabku sambil memperhatikan cewek yang nampaknya masih keturunan Arab itu. Kulirik name tag di dada kirinya, dan memang ada tulisan Fatima di situ.

"Sebenarnya bisa Tuan. Itu kamar 12 dan 12B masih kosong. Kebetulan, hanya dua kamar itu yang dilengkapi pintu penghubung. Kamar lainnya tidak ada fasilitas itu dan kebetulan juga sudah penuh semua," kata Fatima.

Sambil mendata identitas kami ke dalam komputer, Fatima juga menjelaskan kalau kedua kamar itu jarang digunakan. Karena itu dia meminta kami menunggu sekitar dua jam, untuk memberi kesempatan pihak hotel untuk membersihkannya.

"Sebagai wujud permohonan maaf kami karena tidak bisa memberikan pelayanan yang cepat, silakan tuan beserta rombongan menikmati kudapan di resto kami secara gratis," kata Fatima lagi untuk kemudian memanggil porter.

Sepanjang perjalanan dari lobi ke resto, kembali aku menangkap sebuah keganjilan. Porter yang mengantar kami tidak berkata sepatah kata pun. Wajahnya tampak pucat, seperti tak ada darah yang mengalir di tubuhnya.

Keanehan berikutnya terlihat ketika kami berada di resto. Tempat itu sudah sekitar 3/4 terisi. Banyak tamu menikmati hidangan, tetapi tak ada satu suara pun terdengar. Tak ada orang berbicara, tidak ada denting sendok dan piring yang beradu. Benar-benar sepi seperti tidak ada orang sama sekali.

Malah sesekali tercium wangi melati. Bunga yang kerap digunakan ketika berziarah kubur.

"Apakah kalian tidak melihat keanehan ? Sejak masuk, aku rasa ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. Coba perhatikan si porter. Wajahnya pucat seperti zombie. Tempat ini juga aneh. Kita lihat bukan, betapa banyak tamu yang makan di sini. Tetapi aku merasa, hanya kita berlima yang ada di sini," kata Adrian.

"Iya. Tapi saya berusaha bersikap biasa, seperti tidak ada masalah apapun. Saya tidak mau ketahuan pengelola hotel, yang menurutku punya andil dalam menciptakan semua keganjilan ini," jawabku.

"Keanehan lain, hotel ini punya dua kamar bernomor 13," sahut Puno.

"Bagaimana maksutnya ?" sahut Sheila.

Setelah menyeruput kopinya, Puno membuka lembaran denah. Di situ tertulis bahwa hotel itu adalah bangunan tiga lantai, terdiri atas 26 kamar.

Jika diurutkan, baik dari bawah maupun atas, dua kamar yang bakal mereka tempati itulah nomor 13. "Pintar betul pengelola hotel ini, tamu tidak akan menyadari hal itu. Tapi tadi Fatima bilang, kalau kita nggak bisa langsung masuk, karena kamar itu harus dibersihkan selama dua jam.

"Iya. Tadi Fatima beralasan kalau dua kamar itu sudah lama tak disewakan. Selain itu, hanya dua itu yang saling terhubung," sahutku.

"Juga hanya dua itu yang saling terhubung. Artinya, kamar itu sebenarnya hanya satu, tetapi kemudian disekat." kata Puno.

"Wah ini menarik. Bagaimana jika kita jadikan hotel ini target pertama kita. Untuk misi ke rumah tua, kita jadikan target nomor dua," kata Adrian.

Setelah semua setuju akan usul itu, aku segera menghubungi Frank, orang yang mengundang kami ke rumah tua dan rupanya dia setuju. Sebulan lalu, Frank menghubungi ku untuk meminta kami "melihat" rumah tua yang baru tiga bulan dibelinya.

Dari pembicaraan melalui videocall, nampak dia sangat berharap kami datang. Tetapi setelah saya beri penjelasan, nampaknya dia bersedia menunggu dua hari lagi. Jadi dua hari kami menginap di hotel tua, dan besoknya baru ke rumah tua.

"Maaf tuan-tuan, kamar sudah kami bersihkan. Mari saya antar ke sana,," kata porter si muka pucat, tiba-tiba di sampingku.

Terus terang saya cukup kaget. Bagaimana tidak, dia tiba-tiba muncul begitu saja tanpa saya tahu kedatangannya.

"Baiklah semua, ayo masuk ke kamar," ajakku.

Kami kemudian beranjak mengkuti si porter. Setelah keluar dari resto, kami menyusuri lorong-lorong hingga sampai ke tujuan. Para cewek masuk ke kamar 12a dan cowok di 12b. Sebelum keluar, porter saya minta untuk membuka pintu penghubung.

"Nanti kalau butuh sesuatu, silakan hubungi kami lewat intercom di nomor 13. Tapi sebaiknya kalian tidak berbuat yang aneh-aneh."

Saya, Adrian dan Puno saling berpandangan mendengar jawaban itu. Sesaat kemudian si porter melangkah keluar dan berbelok menuju lorong. Hanya sekira tiga detik, saya berlari hendak menyusulnnya. Saya ingin meminta air putih dingin untuk semuanya.

Tetapi alangkah herannya, ketika sampai ke pintu saya sudah tidak menemukan si porter. Seolah-olah dia hilang bersama angin. Saat itu bulu kudukku langsung berdiri. Apalagi kemudian tercium aroma wewangian aneh.

"Kamu merasa ada yang aneh ?" tanyaku pada Adrian dan Puno.

"Ya. Kemana perginya orang tadi. Waktu di resto, dia seperti muncul tiba-tiba. Sementara sekarang, dia menghilang tiba-tiba. Ayo teman-teman, kita waspada. Saya merasa ada yang tidak beres. Saya khawatir, kalau lengah kita tidak siap menghadapi serangan," jawab Adrian.

"Ok. Kalau begitu siang ini kita beristirahat bergantian," usulku.

"Saya, Puno, dan Chintya giliran pertama untuk beristirahat. Chintya tetap tidur di kamar cewek. Saya dan Puno di kamar cowok," kata Adrian sambil beranjak. Sebelum tidur dia menyemprotkan air suci ke setiap sudut ruangan di kedua kamar. Bahkan pintu masuk kamar cewek juga dia segel dengan air itu. Hanya pintu masuk kamar cowok yang tidak.

"Kenapa yang itu tidak?" tanyaku.

"Nanti kamu akan tahu," sahutnya sambil meletakkan botol itu di atas meja.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 15:00. Sementara lainnya tidur, saya dan Sheila berjaga di pintu penghubung. Saya di sisi kamar cowok dan Sheila di sisi kamar cewek.

Sekitar satu jam kami ngobrol, ketika tiba-tiba ada hawa sejuk dan desiran aneh, yang membangkitkan nafsu birahi kami. Kami pun berpandangan dan kemudian saling menggenggam tangan.

Kudekatkan bibirku ke mukanya, tetapi bukan untuk mencium. "Waspada. Ini serangan," kataku setengah berbisik.

Sambil tetap berpegangan tangan, kami pun menghambil posisi duduk bersila dan mulai bermeditasi. Sheila segera menarik nafas panjang, menahannya sejenak, untuk kemudian menghembuskannya perlahan. Aku pun segera melakukan hal serupa. Hanya dalam tiga kali tarikan napas, indra keenam kami sudah aktif.

Saat itulah aku melihat sosok perempuan melayang mendekati Chintya. Tetapi tanpa kuduga, tiba-tiba muncul cahaya biru terang menyelimuti tubuh teman kami itu. Rupanya itulah perisai yang Chintya miliki. Pagar gaib itu pula yang membuat bayangan putih itu sontak mundur dan pergi.

Dia kembali melayang, kali ini menuju ke arah kami. Tetapi baru semeter, dia berhenti. Wajahnya yang semula cantik, perlahan berubah mengerikan. Separuh wajahnya hancur, batok kepalanya merekah, dan matanya melotot seperti akan keluar. Dia nampak begitu marah pada kami.

Tetapi kali ini, dia kembali mundur ketika dari tubuh kami juga keluar cahaya biru terang. Sheila yang saat itu sudah siap akan segala kemungkinan, langsung melompat sambil meraih botol air suci. Dengan sigap, dia semprot pintu masuk kamar laki-laki untuk mencegah si hantu keluar.

Dengan sangat cepat, dia kembali ke arah kami sambil menyemprotkan air itu di tempat si bayangan putih berdiri.

Menghadapi serangan tiba-tiba itu, sosok bayangan putih itu langsung berusaha kabur, sambil mengeluarkan tawa melengking seperti hendak menakut-nakuti. Tetapi sial baginya. Pagar yang sudah kami pasang di seluruh sudut kamar, membuatnya terjebak.

Tubuhnya mulai panas. Itu pula yang membuatnya menghentikan tawanya, berganti dengan tangisan menyayat.

"Kenapa kalian menjebakku di sini ? Apa salahku ? Kenapa kalian menyiksaku seperti ini," kata dia sambil terisak.

"Whoi.....kamu siapa ?" bentakku pada hantu perempuan itu.

Aku benar-benar marah saat itu. Bentakan demi bentakan keluar dari mulutku. Sementara Sheila menamparkan tangannya yang telah disemprot air suci. Bagi bangsa lelembut, tangan Sheila itu seperti obor yang bisa membuat mereka kepanasan.

Kulihat teman-teman yang semula tidur, sudah bangun dan berdiri di sekeliling hantu itu. Mereka bergantian meneror mahluk halus yang sudah tak bisa berbuat apa-apa itu.

"Oh....ini to hantu yang sejak siang bikin kita tidak tenang. Cantik juga dia. Bagaimana kalau kita perkosa rame-rame ?" sahut Adrian.

Aku hampir tertawa ngakak mendengar kata anak gendeng itu. Hantu dengan wajah jelek begitu kok dibilang cantik. Lagi pula bagaimana mungkin kami memperkosa hantu. Jangankan memperkosa, memegang pun tak bisa. Kami bisa mengepungnya, karena menggunakan air suci.

Tapi rupanya si hantu sudah benar-benar panik. Tubuhnya menggigil ketakutan, sambil memsndangi kami satu persatu.

"Ampun.....ampun....jangan perkosa saya. Saya tidak mau.....saya tidak mau," teriaknya.

"Whoi hantu goblok. Mana bisa kami memperkosa kamu. Kami tidak akan memperkosa kamu. Tapi kami bisa sehari semalam menghajar kamu, biar wajah jelekmu itu makin remuk. Lihatlah tangan kami, seperti api khan. Api yang bisa membuat kepanasan," kataku.

Mendengar itu, tangis perempuan hantu itu malah kian menjadi-jadi. Dia berkali-kali bersujud sambil minta ampun, seperti maling yang tertangkap dan sudah dikepung massa.

"Ok...ok... Sekarang ceritakan siapa dirimu," kataku dengan nada lebih pelan.

Sambil masih terisak-isak, hantu itu kemudian mengaku bahwa dia dulu karyawan hotel ini. Sambil bercerita, hantu itu perlahan-lahan berubah wujud menjadi perempuan cantik. Dan wajah itu begitu kami kenal. Ya dia adalah Fatima, petugas di front office yang siang tadi kami temui.

"Lho....kok kamu. Kamu khan cewek yang di lobi tadi siang ?" teriak Sheila.

"Itu bukan saya. Dia adalah saudara kembar saya. Dan dia pula yang selalu saya jaga. Nama kami memang sama. Saya Fatima Kusrini, saudara saya itu Fatima Kusrina," sahut si hantu.

Setelah diam beberapa saat, dia pun melanjutkan ceritanya. Dulu dia adalah karyawan hotel ini. Posisinya saat itu adalah house keeping. Suatu hari malapetaka terjadi. Saat itu dia diminta oleh tamu yang sudah dua hari menginap di lantai tiga, untuk bebersih.

Saat melaksanakan tugasnya itulah, dia tiba-tiba dirudapaksa oleh si tamu. Seketika dia melawan dan berhasil lolos. Tetapi ketika sampai di balkon, tamu itu mendorongnya hingga jatuh dan kepalanya membentur batu taman. Saat itu Fatima tewas seketika.

Tamu yang seharusnya bertanggung jawab, malah lolos dari hukum karena polisi tidak bisa membuktikan kesalahannya.

"Ketika terbangun, saya melihat diri saya sendiri sudah tergeletak berlumuran darah. Saat itu saya menangis sejadi-jadinya. Tetapi apa boleh buat, Tuhan sudah menentukan hidup saya harus berakhir seperti ini," tutur Fatima sambil terus terisak.

"Lalu kenapa kamu masih di hotel ini," kataku penasaran.

"Saya tetap tinggal di hotel ini untuk menjaga saudara saya. Saya tidak mau dia mengalami nasib buruk seperti saya."

"Apakah dia tahu kalau ada kamu yang selalu menjaganya ?" kata Puno gantian yang bertanya.

"Mungkin ya dan mungkin juga tidak. Yang jelas, dia tak memiliki kemampuan seperti kalian. Bahkan jika bertemu hantu, dia pasti bakal tunggang langgang. Tetapi setiap kali saya berusaha menyentuhnya, dia selalu tersenyum. Mungkin dia tidak melihatku, tetapi dia merasa aku ada didekatnya."

Saat itu kami benar-benar ingin menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang dunia perhantuan di hotel itu. Ini tentu bagus buat disampaikan kepada pembaca blognya.

"Baiklah Fatima. Kamu akan kami lepas, asalkan tidak lagi mengganggu kami lagi," kataku. Teman-temanku pun setuju akan hal itu.

"Baiklah mas-mas dan mbak-mbak. Tadi saya masuk ke mari, sebenarnya karena ingin mengganggu. Saya paling benci kalau melihat tamu hotel bermesraan dengan orang yang bukan pasangan sahnya. Apalagi ada dua di antara kalian duduk berdua dan tampak mesra sekali," sahut Fatima.

Saya dan Sheila yang mendengar itu pun tertawa ngakak.

"Hai hantu tolol. Kami berdua ini sebenarnya suami istri. Kami memang baru saja menikah dan belum punya momongan. Jadi asik-asik saja kalau seperti orang pacaran. Tetapi lantaran sejak siang tadi kami sudah merasakan kehadiranmu, kami jadi waspada. Jadi kami tidak akan bercinta di hotel ini. Lagi pula apa enaknya bercinta sambil ditonton hantu,'' sahut Sheila.

Mendengar itu Fatima ikut tertawa. Dan kami pun akhirnya ngobrol sampai pagi. ....(Purwoko Adi Seno)

Komentar