MALAM itu
aku sendirian berada di studio radio kampus. Teman-teman lain yang biasanya
gantian menghibur pendengar, hari itu tak masuk karena ikut studi banding ke
sebuah stasiun televisi di Jakarta. Sementara aku, lantaran tidak punya uang,
memilih tetap menghibur pendengar, yang rata-rata juga mahasiswa.
Waktu baru menunjukkan sekitar pukul 8 malam. Lagu
yang kuputar pun belum banyak, ketika tiba-tiba dari balik kaca kabin siar,
terlihat sesosok wanita mengintip.
Tak jelas siapa dia. Dari rambutnya yang lebat dan hitam berkilau,
semula kukira dia adalah mahasiswi cantik kembang kampus. Tetapi saat itu aku
tak bisa melihat wajah, karena tertutup rambut panjangnya.
“Ahh... biarlah. Mungkin dia Cuma iseng,” kataku dalam
hati.
Aku sebenarnya tak terlalu peduli dengan kehadirannya.
Tetapi dia kembali mengintip, ketika aku memutar lagu berikutnya. Saat itu aku
belum beranjak dari kabin siar, dan malah memutar “Il Silenzio”, sebuah alunan
terompet yang biasa menjadi latar musik ketika adegan pemakaman dalam film-film
Hollywood.
“Siapa dia ? Kok Cuma mengintip,” begitulah rasa
penasaran ku mulai muncul.
Setelah lagu
berikutnya kuputar, aku beranjak keluar dari kabin. Kucari gadis itu di ruang
tamu, ternyata tidak ada. Demikian pula di tempat lain, termasuk ruang pemancar.
Tetapi dia tetap tak ada.
Lalu samar-samar kudengar suara siraman air di toilet.
Bergegas aku menuju ke tempat itu, tetapi perempuan itu tetap tak ada. Bahkan lantai
ruang toilet pun kering, padahal jika memang benar yang kudengar baru saja,
mestinya tempat itu basah.
Perasaanku mulai tidak nyaman. “Jangan-jangan....., yang
tadi maling,” kataku dalam hati.
Karena itu aku bergegas keluar dari dalam gedung. Ku raih
handle pintu dan kutarik, tetapi terkunci. Aku mulai panik. Dalam benakku,
pasti ada orang yang kurang ajar, mengunciku dari luar.
Tetapi pikiranku berubah seketika, tatkala meraba saku
celana. Ternyata aku sendiri yang mengantungi kunci itu. Aku baru ingat, bahwa
ketika masuk tadi, aku memang sengaja mengunci pintu.
“Lalu... dari mana cewek yang barusan masuk.
Jangan-jangan dia masuk lewat jendela,” demikian kata pikiran rasionalku.
Bergegas, aku ambil batangan kayu yang tersandar di
dinding, dan aku kembali ke ruang pemancar. Tetapi semua jendela di tempat itu
ternyata tertutup rapat. Belum habis penasaranku, tiba-tiba ada desir angin
dingin yang membuat bulu kudukku berdiri.
Perasaanku makin tegang. Saat itu aku mulai merasakan
kehadiran mahluk tak kasat mata. Tiba-tiba aku ingat kata-kata teman kuliah,
yang mengatakan bahwa tempat itu memang berhantu.
‘’Kamu mau siaran sendirian ? Hati-hati lho, di situ ada
hantunya.”
Saat itu aku mengira, kata-kata itu hanya untuk
menakut-nakuti. Tetapi sekarang aku baru sadar, bahwa itu adalah sebuagh peringatan.
Saat keteganganku memuncak, tiba-tiba listrik padam.
Mungkin sekitar semenit aku berada dalam kegelapan, sampai pikiran rasionalku
kembali menguasai.
Dengan senter kecil yang biasa kubawa, aku bergegas
menuju ruang pemancar, untuk mematikan semua switch dan mencabut kabel antena.
Setelah itu aku bergegas masuk ke kabin untuk mencopot semua kabel yang
terhubung dalam jaringan listrik. Semua itu harus kulakukan, untuk mencegah
semua perangkat mahal itu jebol, jika sewaktu-waktu ada petir menyambar.
Setelah semua pengamanan itu beres, aku bergegas keluar
untuk duduk-duduk di teras. Tetapi, belum lama duduk, tiba-tiba ekor mataku
menangkap lagi sekelebat bayangan yang berlalu cepat dalam keremangan sinar
bulan.
Desir angin dingin itu pun kembali menerpa, disusul bulu
kudukku berdiri. Saat itu aku sudah makin tak nyaman dan bergegas hendak
pulang. Tetapi ketika hendak beranjak, tiba-tiba listrik menyala kembali.
Kali ini aku ragu-ragu, apakah hendak pulang atau
meneruskan siaran. Setelah kupikir-pikir, akhirnya aku memilih yang kedua.
Malam itu aku bertekad menghibur pendengar, hingga tengah malam.
Tetapi pengalaman aneh yang kualami malam itu ternyata
belum berakhir. Ketika aku masuk ke ruang tamu depan kabin siar, aku melihat
seekor ular kecil abu-abu melata.
Bagiku, kehadiran binatang melata yang kemungkinan jenis
kobra itu, justru lebih mengancam. Sebagai orang yang biasa bertualang di alam
terbuka, aku tahu betul bakal celaka kalau sampai digigit ular macam itu.
Dengan bersenjatakan batang kayu yang sejak tadi
kubawa-bawa, aku mulai memburu hewan itu. Kukejar dia dan aku bersiap
memukulnya. Tetapi gerakan tanganku tiba-tiba terhenti, lantaranan mendengar
bisikan lirih.
“Jangan. Jangan pukul anakku. Aku mohon ampuni dia,” kata
suara yang entah milik siapa .
Tanganku memang batal memukulnya. Tetapi mataku terus
mengikuti gerakan ular itu merayap ke sudut ruangan, untuk kemudian menghilang.
‘’Terima kasih, engkau telah membiarkan anakku hidup.
Sebagai balas budi, aku dan keluargaku tak akan menakut-nakutimu lagi,’’ kata
suara lirih itu.
Saat itulah aku baru benar-benar sadar, bahwa malam itu
telah bertemu mahluk tak kasat mata yang biasa diceritakan teman-teman.
“Hoi....aku sebenarnya tak takut padamu. Aku Cuma merasa
aneh saja, saat bertemu denganmu,’’ sahutku setengah berteriak.
“Hi...hi...hi....,” tiba-tiba terdengar suara tawa
melengking dari arah ruang pemancar di bagian belakang gedung.
Spontan aku berlari ke mengejarnya. Dan sesampai di sana,
kulihat sesosok perempuan berbaju putih panjang berjalan menembus dinding
menuju ke arah antena. Di belakangnya sosok gadis manis mengkutinta dari
belakang.
“Aku pergi dulu ya. Besok-besok kita bisa ketemu lagi,”
kata perempuan itu, diikuti lengkingan suara tawanya yang misterius.
“Buat pemilik tawa melengking, lagu ini untukmu,” kataku
sambil memutar lagu “Unchained Melody” yang pernah dipopulerkan oleh Elvis Presley
pada 1976 dan jadi theme song film Ghost yang dirilis pada 1 Juni 1991.
(Purwoko)
Komentar
Posting Komentar
Kirim komentar ya, jangan lupa link-nya