Munculah, Kau Ku Lempar

MATAHARI mulai beranjak ke peraduan, ketika kami anak-anak kelas satu SMA tiba di Hutan Penggaron. Sebuah hutan kecil di Ungaran, Kabupaten Semarang. Satu persatu perlengkapan kemah, kami turunkan dari atas truk.
“Ayo cepat…..cepat….!!!,” teriak Arief sang ketua OSIS memberi aba-aba.
Kami memang harus bergegas, karena masih harus mendirikan tenda-tenda yang jumlahnya lumayan banyak. Belum lagi persiapan untuk kegiatan nanti malam, yang entah akan diisi acara apa.
Teman-teman bilang, biasanya para calon pecinta alam ini akan digojlok habis-habisan sampai jelek, oleh para senior.
“Ah…. persetan mereka mau mengerjai dengan cara apa, yang penting besok kita sudah resmi masuk menjadi anggota pecinta alam,” kata Rahmat, teman ku seangkatan.
Target kami pada hari itu memang bisa resmi masuk ekstrakurikuler pecinta alam di sekolah kami, yang kata banyak orang, cukup disegani di Kota Semarang.
Adzan Magrib terdengar dari arah desa, ketika hampir semua tenda sudah terpasang. Hanya tinggal satu tenda milik kelompok peserta putri yang belum berdiri.
Menjelang Isya, semua tenda sudah berdiri. Sementara sebagian panitia pria, terlihat mulai menyiapkan kayu-kayu untuk api unggun. Sebagian lagi, mendorong para newbie agar segera bersih-bersih diri, untuk acara makan malam.
“Ayo kumpul….kumpul…..kumpul !!!!,’’ teriak sang ketua, melalui megaphone.
Dari nada suaranya, muncul kesan mulai ada bentakan, bukan sekadar tegas seperti biasanya.
“This is it. Ya inilah saatnya. Saatnya mereka membuli kami, para yunior,” pikirku.
Tapi aku sudah siap. Fisik dan mentalku, memang sudah kusiapkan untuk kegiatan persami, alias perkemahan Sabtu Minggu ini. Segera ku beranjak menuju ke tanah lapang, dan menempatkan diri di dalam barisan.
Rupanya, dalam acara pertama itu, kami hanya diberi pengarahan-pengarahan tentang dasar-dasar menjadi seorang pecinta alam. Namanya saja pecinta alam, para senior itu memberi arahan agar kami menjaga ikut hutan, sekaligus keselamatan diri dan teman-teman.
Setelah bergantian memberikan ceramah, kami pun diminta menuju ke tenda masing-masing, untuk beristirahat.
“Wah...enak benar. Baru sampai, cuma disuruh mendirikan tenda, bersih-bersih, terus tidur,’’ kata Satrio, teman satu regu seorang.
Aku nyengir mendengar omongannya. Rupanya dia tidak sadar, bahwa harus mulai waspada. Seperti yang kudengar dari teman-teman yang sudah terlebih dulu menjadi pecinta alam, puncak acaranya biasanya digelar tengah malam hingga pagi.
Oh ya...Sebetulnya pengetahuanku tentang pecinta alam, bisa dikatakan sudah lebih dibanding rekan-rekan satu angkatan. Ini karena  aku sejak kelas dua SMP, sudah sering diajak kakak naik gunung. Kakak ku, Mbak Fitri ini memang punya hobi naik gunung. Dia juga anggota pecinta alam, di perguruan tinggi tempat dia jadi mahasiswa.
Karena itu, aku sudah lumayan akrab dengan dunia alam bebas ini. Karena itulah, ketika masuk SMA, aku memilih masuk ekstrakurikuler pecinta alam.
Karena itu pula, aku jadi susah tidur, walaupun para senior sudah menyuruh semua peserta masuk ke tenda. Waktu menunjukkan pukul 23.00, ketika tiba-tiba terdengar suara letusan-letusan beruntun dan ledakan-ledakan kecil.
Suasana seperti perang itu membuat kami terkejut. Apalagi kemudian para senior berteriak-teriak membangunkan kami sambil memukul-mukul panci. Beberapa teman tampak langsung berlari tanpa sepatu ke lapangan. Ada pula yang berlari terpincang-pincang, karena masih membetulkan tali sepatu.
Aku juga ikut berlari. Tapi karena sejak awal tidak mencopot sepatu dan jaket, aku tidak jadi serepot mereka.
“Ayo berbaris. Hai jangan lamban, ini genting. Cepat…...cepat…..,’’ teriak para senior itu.
Setelah berbaris per regu, kami diminta mulai berjalan satu persatu, sambil mencari jejak-jejak yang ditinggalkan panitia. Inilah ujian keberanian ku yang pertama.
Biasanya, setiap kali mendaki, selalu ada Kak Fitri di dekatku. Tapi kali ini aku harus berjalan sendiri di tengah kegelapan. Bayangan-bayangan horor mulai muncul di benakku. Walaupun sering naik gunung, pada dasarnya aku adalah seorang penakut, terutama pada hantu.   
Kali ini, aku harus cari akal untuk mengusir rasa takut itu. Bagaimana pun, ini adalah perang melawan hantu-hantu yang ada di benakku. Karena itulah, aku mencari akal untuk mengalahkan diri sendiri.
Sambil berjalan, kucari beberapa batu yang agak besar. Kuyakinkan diriku, kalau ada hantu atau siapapun yang muncul tiba-tiba, pasti bakal jadi sasaran lemparan.
Benar juga, sesampai di sebuah batu besar, tiba-tiba muncul putih-putih mirip pocong. Hatiku tambah kebat-kebit, karena sosok itu mengeluarkan suara mirip kuntilanak.
Dengan sekuat tenaga, kulemparkan batu ditanganku sambil berteriak mengumpat. “Anjing, setan, kuntilanak, minggat kau.”
“Waduh……….. Sakit……..,’’ teriak sosok itu.
Kali ini aku tambah terkejut, lantaran sadar bahwa sosok itu bukan hantu. Dia adalah senior yang memang diberi tugas untuk menakut-nakuti. Mungkin semula dia pikir, menyamar jadi hantu adalah tugas paling aman, karena yang melihat akan lari tunggang langgang, bukannya melemparkan batu sebesar buah jambu.
Sama seperti dia, hatiku pun menjadi kecut. Segera kuhampiri si pocong gadungan itu, sambil mengulurkan tangan.
“Kakak nggak apa-apa ? Maaf ya kak, saya tadi kaget dan reflek. Habisnya, kakak sukses jadi hantu,’’ kataku, sambil memapahnya ke tenda panitia. (Singa)

Komentar