Menikmati CLBK di Punggung Ungaran


Photo : Purwoko Sisinga Berkacamata
HAWA sejuk mulai terasa ketika memasuki kawasan Desa Kalisidi, Kecamatan Gunungpati, Minggu 6 Maret 2016 siang itu. Meski masih merupakan bagian dari Kota Metropolitan Semarang, tetapi suasana pedesaan benar-benar terasa.

Tujuan kami adalah sebuah kawasan wisata air terjun yang masih alami di desa itu. Setelah melalui menyusuri jalan beraspal ke arah selatan di punggung utara Gunung Ungaran, tibalah kami di gerbang kawasan itu.
Photo : Purwoko Sisinga Berkacamata

Sebuah tiang dengan papan nama bertuliskan “SELAMAT DATANG DI AIR TERJUN CURUG LAWE DESA KALISIDI” pun menyambut kami. Di dekat tempat itu terdapat tempat parkir sepeda motor yang dikelola oleh para relawan CLBK.

Lho.... kok CLBK ?

Photo : Purwoko Sisinga Berkacamata
Ya.... CLBK di sini bukan cinta lama bersemi kembali, tetapi Curug Lawe Benowo Kalisidi. Di kawasan itu memang terdapat dua air terjun utama, yaitu Benowo dan Lawe.

Dari tempat itulah, “tantangan” dimulai. Bagi para pegiat alam, perjalanan menuju ke air terjun Benowo bukan suatu hal yang sulit untuk ditempuh. Tetapi bagi orang yang tak pernah atau jarang melakukan perjalanan lintas alam atau hiking, rute yang dilalui memang lumayan berat.

Untuk menuju ke Curug Benowo, harus berjalan kaki sejauh lebih kurang 3 kilomenter. Adapun untuk menuju ke Curug Lawe, jarak yang ditempuh bisa bertambah sekitar 1,5 kilometer.
Photo : Purwoko Sisinga Berkacamata

Perjalanan dimulai dengan menyusuri atau lebih tepatnya disebut meniti tanggul saluran irigasi. Lebarnya rata-rata hanya 50 sentimeter. Beruntung di beberapa bagian diberi ruang cukup lebar bagi orang untuk menepi dan memberi kesempatan orang lain dari arah berlawanan untuk melintas.

Perjalanan meniti tanggul saluran irigasi itu cukup menantang, karena di satu sisinya terdapat tebing yang tinggi, sementara di sisi lainnya, terdapat jurang yang cukup dalam. Yang menarik, di sepanjang rute tersebut, kita juga melewati sebuah saluran air, sekaligus jembatan yang melintasi jurang. 

Tanpa saluran ini, air dari curug tak dapat dimanfaatkan maksimal karena bakal terbuang ke jurang. Selain itu, saluran irigasi di sepanjang punggung tebing itu, nampaknya juga berfungsi untuk mengurangi erosi dan kemungkinan longsor.

Ya.. kawasan itu memang merupakan daerah rawan longsor. Tanpa pengujian ilmiah pun, tanda-tanda pergerakan tanah itu sudah terlihat. Selain pepohonan dengan batang berkelak-kelok, juga adanya pohon besar yang tumbang melintang dan batu-batu besar.

Saluran itu juga dilengkapi sebuah bendung kecil, bernama Bendung Sidomble. Di papan nama tertulis bendung itu tertulis tahun pembuatan 1975. Debit maksimal bendung yang berlokasi di koordinat bujur 110.35866" dan lintang 07.15146" itu, maksimal 1,19 meter kubik per detik dan minimal 0,06 meter kubik per detik.

Walaupun tak terlalu besar, air dari sistem irigasi ya



ng merupakan bagian dari Kali Pangus tersebut, dapat mengairi lahan 715 hektare. Wah... hitung-hitungan air lageee. Tapi begitulah, air merupakan bagian penting dari kehidupan.

Demikian pula bagi petani setempat. Keberadaan bendung itu memang penting. Karena itulah warga berusaha untuk menjaga kawasan itu agar tetap hijau dan bersih. Beragam upaya yang mereka lakukan, termasuk menyediakan tempat-tempat sampah serta memasang papan imbauan untuk para wisatawan.

Tetapi jangan dikira, papan-papan imbauan itu berisi kalimat-kaliman ala birokrasi. Sebaliknya, tulisan-tulisan tersebut lebih menyentuh sisi kemanusiaan, seperti misalnya “We CLBK”. Disayangkan, tangan-tangan jahil tetap saja ada yang merambah tempat itu. Seperti pada papan nama bendung, yang dicoret dengan cat semprot.

Setelah beristirahat sejenak di bendung itu, perjalanan pun masih harus di lanjutkan sejauh 1,5 kilometer. Kali ini tak lagi meniti tanggul saluran, tetapi mendaki di lereng. Di beberapa tempat terdapat tanjakan terjal berbatu, di mana kita harus berhati-hati agar tak terjatuh.

Tetapi jangan khawatir tersesat. Karena di sepanjang jalan, warga dan sukarelawan CLBK sudah memasang banyak petunjuk arah, sekaligus perkiraan jarak hingga ke Curug Benowo.

Di beberapa tempat, pengunjung juga harus melalui jembatan kecil dari kayu, dengan model sangat sederhana. Untuk pegangannya pun, terbuat dari ranting-ranting yang disusun, sehingga menyatu dengan suasana hutan.

Bagi pengujung yang kelelahan, juga dapat mampir di warung-warung yang dibangun warga. Selain dapat menikmati teh atau kopi hangat, di tempat itu juga tersedia mie instan rebus dan gorengan. Walaupun sederhana, tetapi menu tersebut sungguh nikmat untuk disantap, di tengah hawa sejuk Gunung Ungaran.

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, tibalah di tempat yang dituju, yaitu air terjun Benowo. Pada musim hujan, air tak berhenti mengucur dari ketinggian puluhan meter.

Kesegaran air dan kesejukan udara di tempat itu, seakan mengobati rasa lelah akibat akibat perjalanan yang lumayan jauh. Sungguh sebuah anugrah Tuhan untuk Kota Semarang, yang ternyata masih memiliki tempat seindah ini. (Purwoko)

Komentar