Akhir Pekan Kelabu, Pedagang pun Menangis

  •  Pasar Johar Terbakar

SABTU malam tanggal 9 Mei 2015 benar-benar merupakan akhir pekan kelabu bagi warga Kota Semarang. Pasar Johar yang pernah menjadi Shopping Mall terbesar di Asia Tenggara terbakar.

Akibat musibah itu, kerugian pun tak terkira. Banyak pedagang yang baru saja menambah stok untuk persiapan menghadapi Ramadan, harus gigit jari karena dagangan mereka musnah. Ada pula yang barang dagangannya selamat, tetapi baru saja dikulak oleh pedagang Johar dan belum dibayar.

Dampak kebakaran itu, sehari kemudian juga dirasakan ribuan warga Kota Semarang lainnya, terutama di kampung-kampung yang jauh dari pusat bencana. Harga barang kebutuhan dapur yang biasa mereka beli dari pedagang sayuran pun langsung naik. Para pedagang sayuran itu, biasanya memang kulak di Pasar Johar. Sehingga ketika musibah terjadi, mereka harus kulak di tempat lain dengan harga lebih mahal.

ItuMenangis dan Mengais
Ketika menyempatkan datang Minggu 10 Mei 2015, saya masih mendapati beberapa ibu-ibu menangis setelah melihat kondisi terakhir pasar itu. Yang membuat saya trenyuh, di antara mereka ada pula seorang ibu dari Buyaran, Demak dan bukan pedagang Johar. 

Sutimah, nama ibu itu menuturkan sudah 50 tahun membuka usaha di desanya dan hampir setiap hari datang ke Pasar Johar untuk kulak. Dia mengaku sedih, karena Pasar Johar bukan sekadar tempat jual beli. Di tempat itu dia memiliki banyak sahabat sesama pedagang. Dia bisa membayangkan, betapa hancur perasaan para sahabatnya itu, melihat gantungan hidupnya ludes tanpa sisa.

Dalam pandangan mata, kehancuran itu memang terjadi secara merata dari depan sampai belakang. Bahkan ruko-ruko di Jalan Pedamaran di seberang jalan juga ikut terjilat api hingga menghitam dan kaca-kacanya pecah. Rupanya, api melompati jalan selebar lebih kurang delapan meter. Betapa dahsyat peristiwa itu.

Dalam ilmu pemadam kebakaran, semakin besar api memang akan membuat angin juga bertiup semakin besar. Sebaliknya, angin itu pula yang membuat api menjadi kian besar.

Di Jalan Pedamaran pula, terlihat para pedagang mengais barang-barang. Beberapa orang terlihat mengais kentang, di antara yang sudah hitam terpanggang. Kentang-kentang yang masih bisa diselamatkan itu, kemudian mereka masukkan ke dalam karung untuk dijual lagi ke tempat lain.

Terlihat pula seorang perempuan tua yang mengupas kentang hangus untuk kemudian dia makan. Entah bagaimana rasanya, tetapi saya yang termasuk penyuka kentang pun tak tega melihatnya.

Selain kentang, ada juga pedagang yang mengais kubis dan jahe. Barang-barang dagangan itu pun mereka masukkan karung untuk kemudian dibawa keluar dari lokasi itu.

Siang itu, tak ada tawa di Pasar Johar. Wajah-wajah suram terlihat di mana-mana, sesuram bangunan-bangunan yang baru saja terbakar. Ucapan syukur memang kadang-kadang masih terdengar. Tetapi tentu saja bukan mensyukuri musibah itu. Ucapan itu terlontar, setelah mengetahui kerabat dan sahabat mereka selamat. Hingga siang itu, memang tidak ada kabar ada korban jiwa dari peristiwa itu. Tetapi kebakaran Pasar Johar, bukan hanya mencederai kehidupan ekonomi jutaan orang, tetapi juga kehidupan sosial di tempat itu. (Purwoko Adi Seno)

Komentar