Segenggam Nasihat dari Mantan Guru


Cerpen

HARI  belum terlalu siang, ketika tiga orang berseragam polisi mencegat para pengendara sepeda motor di sebuah jalan protokol di kota S. Satu per satu pengendara diminta menunjukkan surat-surat mereka. Beberapa pengendara lain yang tidak membawa surat lengkap, diminta datang ke pos, sekitar 50 meter dari lokasi itu.

Pak Ranu dan anak semata wayangnya, Rani yang kebetulan saat itu juga lewat di jalan itu, juga tak luput dari razia. Tapi celakanya, guru sebuah SMA negeri itu lupa membawa STNK. Dia baru ingat, surat kendaraan itu masih dibawa Sutinah, istrinya, yang kemarin menggunakan motor itu.

“Silakan bapak ke pos itu,” kata polisi yang memeriksanya.

Di tempat itu, tampak dua pelanggar menunggu mendapat surat tilang. Kaca gelap di pos tersebut, membuat Pak Ranu tak dapat melihat jelas petugas di dalamnya. Dia hanya mendegar ada seorang laki-laki yang dengan nada tinggi, ngotot meminta surat tilang. “Tilang saya saja. Saya tidak sudi menyuap polisi kayak kalian,” kata lelaki itu.

Beberapa saat kemudian, lelaki itu keluar dari pos sambil menggerutu. Tampak sekali dengan wajah memerah. “Polisi korup kok nggak ada habis-habisnya,” gerutunya.

Ketika tiba giliran Pak Ranu, dia menyuruh si anak yang masuk. Sama seperti lelaki sebelumnya, Rani juga marah-marah lantaran dimintai sejumlah uang sogokan. Pak Ranu tahu betul, anak perempuannya itu memang pemberani. Sejak kecil, dia memang telah mendidik Rani untuk berani menyuarakan kebenaran.

Tetapi polisi di dalam pos itu, nampaknya juga tak mau kalah. “Ayolah mbak. Dari pada mbak ikut sidang, lebih baik titip pada saya”.

Karena situasi makin memanas, akhirnya Pak Ranu pun ikut masuk. Tapi sesampai di dalam, betapa terkejutnya dia. Salah satu polisi di dalam pos itu adalah Budi, salah satu muridnya dulu. Ketika masih menjadi siswanya, Budi sebenarnya termasuk pandai. Nilainya selalu bagus dan selalu menjadi juara di kelasnya. Bahkan anak itu dulu selalu menjadi murid kesayannya, karena taat beribadah.

“Heh !!!! ..... Ternyata begitu kelakuan kamu sekarang. Dulu kamu saya didik untuk menjadi orang yang jujur dan taat aturan. Tapi sekarang, kamu malah menjadi orang yang brengsek dan suka memeras orang,” hardik Pak Ranu.

Mendapat hardikan seperti itu, Budi yang semula berkonsentrasi kepada Rani, langung menoleh. Saat itu mukanya langsung pucat, melihat Pak Ranu.

“Ma....maaf pak. Saya tidak tahu kalau mbak ini anak Pak Ranu. Kalau tahu, pasti sudah saya lepaskan,” sahut polisi itu.

Mendengar jawaban itu, Pak Ranu malah makin marah. Dengan nada bergetar, dia kembali berkata-kata. “Saya kecewa pada kamu. Saya malu. Saya malu, karena saya ternyata telah gagal mendidikmu”.

Setelah diam sejenak, dia pun melanjutkan kata-katanya. “Keberhasilan seseorang, bukan karena dia bisa mengumpulkan kekayaan yang banyak, tetapi bagaimana dia mempertanggungjawabkan kekayaannya itu di hadapan Tuhan. Selain itu, kamu kok tega memberi makan anak dan istrimu dengan uang haram.  Sekarang, cepat berikan surat tilang itu, biar kami bisa segera mengurusnya”.

Tanpa berkata-kata, polisi itu pun segera mengambil sebendel blanko tilang dan mengisinya. “Ini pak. Maafkan saya karena telah mengecewakan bapak,” kata Budi sambil menyerahkan surat itu.

Kata-kata itu keluar dari ketulusan hatinya. Peristiwa itu benar-benar membuat budi ingin mengakhiri semua kebobrokan itu. Dia berjanji tak ingin lagi menjadi polisi korup.

Dia malu, pada Pak Ranu yang dulu menjadi guru yang paling disayanginya. Dia malu, pada dirinya sendiri yang dulu menjadi anak yang rajin beribadah. Dan dia malu pada Tuhan, yang telah menegurnya melalui nasihat dari mantan gurunya itu.

Ketika Pak Ranu dan Rani hendak pergi meninggalkan tempat itu, buru-buru Budi keluar pos dan menyusulnya. Tanpa mempedulikan lagi seragam yang dia pakai, lelaki itu mengambil tangan mantan gurunya. “Pak, sekali lagi maafkan saya. Kemarahan dan nasihat bapak barusan telah menyadarkan saya,” katanya dengan terbata-bata. (*)

Komentar