► Bermula
dari PKL
DUA lajur Jalan KH Agus Salim yang masing-masing
kurang dari 10 meter itu, semakin sempit oleh pedagang kaki lima (PKL) yang
menggelar dasaran di tepinya. Lalu lalang calon pembeli, sering menyebabkan
kendaraan yang lewat di jalan itu harus berjalan pelan atau bahkan berhenti
sejenak. Demikian pula ketika ada becak mengangkut atau menurunkan
penumpang.
Kepadatan arus lalu lintas, lalu-lalang orang, dan segala hiruk pikuk di kawasan itu, seakan-akan sudah menyatu dengan keberadaan Pasar Johar. Bukan hanya di tepi jalan. Pedagang juga menempati hampir di setiap emper toko di tempat itu. Mereka menjual aneka barang, termasuk jasa memperbaiki jam, kalender, hingga pernik-pernik peralatan rumah tangga.
Di dalam pasar, tempat dasaran juga cukup padat. Bahkan di beberapa tempat,
pengunjung kesulitan untuk berjalan cepat, ketika harus berpapasan dengan
pengunjung lain.
Segala hiruk-pikuk itu pula yang aku dan istriku Punkie Diaz rasakan, ketika suatu hari mencari benang rajut di pasar tradisional tua itu. Dengan alasan kenyamanan dan rasa aman, biasanya pemilik halaman Diaz’s Croshet di FB itu enggan masuk ke pasar tradisional. Tetapi demi memburu benang, dia rela berputar-putar ke tempat itu, sambil sesekali bertanya pada pedagang lain.
Ketika untuk kesekian kali kami masuk ke tempat itu, saya akan berbagai artikel yang menggambarkan bahwa di tempat itu dulunya adalah sebuah alun-alun dan pusat pemerintahan Kabupaten Semarang.
Alun-alun
Dalam Bulletin Online Tata Ruang, Suwardjoko P Warpani menuliskan artikel yang cukup menarik mengenai alun-alun. Dengan mengambil pendapat Mardiono, 2009, dia menulis bahwa dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (keraton, kabupaten) selalu dilengkapi dengan lahan luas yang disebut alun-alun.
Alun-alun ini bukan sekadar tanah lapang, tetapi bahwa di dalam ruang kosong terdapat kehidupan. Untuk alun-alun di Kraton Yogyakarta misalnya, kehidupan itu dilambangkan dengan keberadaan pohon beringin.
Adapun di Kabupaten Semarang tempo dulu, kehidupan di alun-alun tersebut, kemungkinan digambarkan dengan pohon johar. Hal ini antara lain terlihat dalam foto yang dipublikasikan http://www.semarang.nl/.
Masih menurut Suwardjoko, alun-alun sejak zaman Majapahit sudah menjadi salah
satu penanda bahwa tempat tersebut merupakan pusat kota. Tetapi alun-alun untuk
keraton dengan kabupaten, memang ada perbedaan. Untuk alun-alun keraton
alun-alun terletak pada depan dan belakang istana. Adapun untuk kebupaten,
alun-alun hanya berada di depan rumah bupati.
Alun-alun selalu menjadi lambang kebesaran dan wibawa penguasa. Walau demikian, tempat ini juga berfungsi ganda, yakni sebagai ruang terbuka kota. Terbuka, dalam hal ini bermakna berada di luar ruang, sekaligus dapat dikunjungi oleh umum.
Karena merupakan ruang terbuka, sekaligus pusat kota, Alun-alun Kabupaten Semarang kala itu menjadi salah satu pusat keramaian. Hal itu antara lain tergambar dalam sebuah artikel di Suara Merdeka, Senin, 7 Oktober 2002 silam. Judul artikel tersebut cukup menggelitik, yaitu “Cikal Bakal Pasar di Bawah Pohon Johar”.
Dalam tulisan tersebut digambarkan, sebagai sebuah alun-alun, di kawasan tersebut terdapat masjid dan pusat pemerintahan kabupaten Semarang. Itulah mengapa, sampai kini, wilayah di belakang Pasar Johar masih disebut sebagai Kanjengan. Kanjeng, berarti Kanjeng adalah gelar yang diberikan kepada orang yang berkedudukan tinggi di Jawa.
Sebagai pusat pemerintahan, di tempat itu juga terdapat penjara. Setiap sore, banyak warga yang menemui keluarganya di penjara itu. Sebelum pintu penjara dibuka, mereka menunggu di alun-alun.
Seperti kata pepatah, ada gula ada semut, demikian pula kondisi saat itu. Warga yang hendak membesuk itu ibarat gula, bagi para PKL. Dari beberapa PKL yang menggelar dasaran di bawah pohon johar, tempat itu menjadi kian ramai. Hal itulah yang kemudian mendasari pembangunan Pasar Johar.
Kembali mengacu pada foto-foto http://www.semarang.nl/, tergambar bahwa pada 1930 para pedagang di tempat masih berupa PKL. Tetapi sembilan tahun kemudian (1939), di tempat itu sudah berdiri sebuah pasar megah. Bahkan pada saat itu, Johar disebut sebagai The Biggest Shoping Mall of Indonesia.
Pasar Johar yang merupakan karya arsitek Thomas Karsten tersebut, kini merupakan bangunan cagar budaya. Seperti ditulis seputarsemarang.com, rancangan pertama pasar ini dibuat pada 1933, oleh Thomas Karsten. Salah satu keunikan pasar ini, adalah adanya tiang-tiang penyangga tinggi persegi delapan, di mana di bagian atas menyerupai bentuk jamur. Pada bagian atas “jamur” ini, diletakkan atap beton dengan ventilasi di bawahnya. Dengan konstruksi semacam itu, pada zaman itu, udara di dalam pasar tetap terasa sejuk.
Disayangkan, dalam perkembangannya kemudian, beberapa bagian pasar ini ditambah, sehingga justru mengganggu. Seperti dinding tambahan di sekeliling pasar, yang menyebabkan ketidakserasian arsitektur dan sistem ventilasi menjadi kurang lancar. (Purwoko Adi Seno)
Pasar Johar 1930 Sumber http://www.semarang.nl/ |
Kepadatan arus lalu lintas, lalu-lalang orang, dan segala hiruk pikuk di kawasan itu, seakan-akan sudah menyatu dengan keberadaan Pasar Johar. Bukan hanya di tepi jalan. Pedagang juga menempati hampir di setiap emper toko di tempat itu. Mereka menjual aneka barang, termasuk jasa memperbaiki jam, kalender, hingga pernik-pernik peralatan rumah tangga.
Pasar Johar 1930 Sumber http://www.semarang.nl/ |
Segala hiruk-pikuk itu pula yang aku dan istriku Punkie Diaz rasakan, ketika suatu hari mencari benang rajut di pasar tradisional tua itu. Dengan alasan kenyamanan dan rasa aman, biasanya pemilik halaman Diaz’s Croshet di FB itu enggan masuk ke pasar tradisional. Tetapi demi memburu benang, dia rela berputar-putar ke tempat itu, sambil sesekali bertanya pada pedagang lain.
Ketika untuk kesekian kali kami masuk ke tempat itu, saya akan berbagai artikel yang menggambarkan bahwa di tempat itu dulunya adalah sebuah alun-alun dan pusat pemerintahan Kabupaten Semarang.
Alun-alun
Dalam Bulletin Online Tata Ruang, Suwardjoko P Warpani menuliskan artikel yang cukup menarik mengenai alun-alun. Dengan mengambil pendapat Mardiono, 2009, dia menulis bahwa dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (keraton, kabupaten) selalu dilengkapi dengan lahan luas yang disebut alun-alun.
Alun-alun ini bukan sekadar tanah lapang, tetapi bahwa di dalam ruang kosong terdapat kehidupan. Untuk alun-alun di Kraton Yogyakarta misalnya, kehidupan itu dilambangkan dengan keberadaan pohon beringin.
Adapun di Kabupaten Semarang tempo dulu, kehidupan di alun-alun tersebut, kemungkinan digambarkan dengan pohon johar. Hal ini antara lain terlihat dalam foto yang dipublikasikan http://www.semarang.nl/.
Suasana di Pasar Johar pada tahun 1938-1942 Sumber : Wikipedia |
Alun-alun selalu menjadi lambang kebesaran dan wibawa penguasa. Walau demikian, tempat ini juga berfungsi ganda, yakni sebagai ruang terbuka kota. Terbuka, dalam hal ini bermakna berada di luar ruang, sekaligus dapat dikunjungi oleh umum.
Karena merupakan ruang terbuka, sekaligus pusat kota, Alun-alun Kabupaten Semarang kala itu menjadi salah satu pusat keramaian. Hal itu antara lain tergambar dalam sebuah artikel di Suara Merdeka, Senin, 7 Oktober 2002 silam. Judul artikel tersebut cukup menggelitik, yaitu “Cikal Bakal Pasar di Bawah Pohon Johar”.
Dalam tulisan tersebut digambarkan, sebagai sebuah alun-alun, di kawasan tersebut terdapat masjid dan pusat pemerintahan kabupaten Semarang. Itulah mengapa, sampai kini, wilayah di belakang Pasar Johar masih disebut sebagai Kanjengan. Kanjeng, berarti Kanjeng adalah gelar yang diberikan kepada orang yang berkedudukan tinggi di Jawa.
Sebagai pusat pemerintahan, di tempat itu juga terdapat penjara. Setiap sore, banyak warga yang menemui keluarganya di penjara itu. Sebelum pintu penjara dibuka, mereka menunggu di alun-alun.
Seperti kata pepatah, ada gula ada semut, demikian pula kondisi saat itu. Warga yang hendak membesuk itu ibarat gula, bagi para PKL. Dari beberapa PKL yang menggelar dasaran di bawah pohon johar, tempat itu menjadi kian ramai. Hal itulah yang kemudian mendasari pembangunan Pasar Johar.
Kembali mengacu pada foto-foto http://www.semarang.nl/, tergambar bahwa pada 1930 para pedagang di tempat masih berupa PKL. Tetapi sembilan tahun kemudian (1939), di tempat itu sudah berdiri sebuah pasar megah. Bahkan pada saat itu, Johar disebut sebagai The Biggest Shoping Mall of Indonesia.
Pasar Johar yang merupakan karya arsitek Thomas Karsten tersebut, kini merupakan bangunan cagar budaya. Seperti ditulis seputarsemarang.com, rancangan pertama pasar ini dibuat pada 1933, oleh Thomas Karsten. Salah satu keunikan pasar ini, adalah adanya tiang-tiang penyangga tinggi persegi delapan, di mana di bagian atas menyerupai bentuk jamur. Pada bagian atas “jamur” ini, diletakkan atap beton dengan ventilasi di bawahnya. Dengan konstruksi semacam itu, pada zaman itu, udara di dalam pasar tetap terasa sejuk.
Disayangkan, dalam perkembangannya kemudian, beberapa bagian pasar ini ditambah, sehingga justru mengganggu. Seperti dinding tambahan di sekeliling pasar, yang menyebabkan ketidakserasian arsitektur dan sistem ventilasi menjadi kurang lancar. (Purwoko Adi Seno)
Komentar
Posting Komentar
Kirim komentar ya, jangan lupa link-nya