Merajut Benang, Merenda Harapan

SUDAH hampir satu jam, simpul demi simpul dirajut oleh ibu beranak satu itu. Sesekali dia menghitung jumlah simpul yang telah dibuatnya. Tetapi ketika sudah mendekati akhir, tiba-tiba tanggannya berhenti.  Keningnya berkerut sambil kembali meneliti hasil karyanya.

“Aduh....... ternyata ada yang keliru. Wah..... harus mengulang lagi nih,” keluhnya.
Dengan hati berat, dibongkarnya lagi hasil pekerjaannya itu dan mulai diulanginya lagi dari awal. Tetapi, baru sebentar, diletakkannya benang dan hakpen. Sembari bangkit dari duduk, dikibas-kibaskannya tangannya.

“Capek...... capek...... capek......,” keluhnya

Merajut, bagi Punkie Widdi Astuti, bukan hanya hobi, tetapi juga menghasilkan. Dibanding aktivitas-aktivitas lain sebelumnya, merajut adalah yang paling lama dijalaninya. Keterampilannya merajut, dimulai sejak masih kecil.

Kala itu, dia belajar merajut dari sang nenek yang tinggal di dekat Stasiun Poncol Semarang. Tetapi kemudian, aktivitas itu berhenti selama bertahun-tahun, hingga suatu ketika diajak kembali oleh sahabatnya, Mona Hartono.

Sejak itu beragam karya dihasilkannya, mulai dari bros baju, ikat rambut, kopiah muslim, dompet, sampai tas dengan berbagai macam model. Merajut, kini bagaikan sebuah candu baginya. Karena itu pula, pekerjaan itu dia jalani setiap hari dengan harapan hasil karyanya bermanfaat.

“Hampir semua hasil rajutan saya, sudah dibeli orang. Mereka teman-teman saya, atau teman dari teman saya. Sebelum saya kirim ke pemesan, foto hasil karya saya selalu saya unggah ke Facebook,” kata pemilik halaman Diaz’s Croshet itu.

Menurut ibu dari Eduard Febriansyah itu, merajut bukan hanya melatih kesabaran, tetapi juga merenda harapan. Dia berharap, melalui kegiatan itu bukan hanya uang yang bisa didapatkan, tetapi juga persahabatan dan relasi.
“Dengan ikut beberapa komunitas rajut di Facebook, saya jadi makin banyak teman,” kata dia. (Purwoko Adi Seno)

Komentar