DEBURAN ombak Samudra Indonesia,
bagaikan riuh tepuk tangan alam yang menyambut kedatangan kami di kawasan pantai
selatan Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, siang
itu.
Segera kami mencari papan petunjuk arah bertuliskan “Pantai Jogan”. Setelah ketemu, segera mobil yang kami tumpangi berbelok ke kanan, masuk ke jalan sempit, menuju pantai yang belum terlalu populer tersebut.
Setiba di objek wisata milik warga itu, kelelahan setelah menempuh perjalanan sejak pagi dari Kota Semarang serasa terbayar. Meski sudah tiga kali datang ke tempat itu, deburan ombak itu tetap terdengar indah di telingaku.
Tanpa membuang waktu, aku bersama Punkie Dias istriku, adikku Diah Nurita, dan suaminya Edi Prasojo segera turun dari mobil. Mata kami bukan hanya disambut oleh ombak bergulung-gulung, tetapi juga air terjun yang langsung jatuh ke laut. Air terjun inilah yang menjadi salah satu keunggulan Pantai Jogan, dibanding pantai-pantai lain di kabupaten tersebut.
Beberapa pengunjung, terlihat memanfaatkan pemandangan itu untuk dijadikan latar foto. Sebagian nekat turun ke bawah, demi memperoleh gambar yang bagus. Ada pula pengunjung yang berdiri di karang, di atas jurang.
Bukit Gamping
Bagiku, semua keindahan itu bukan sekadar pemandangan yang pantas untuk
dinikmati, tetapi dijadikan bahan perenungan akan kekuasaan Tuhan. Karena itulah, aku mencoba menuliskan pengalaman ini di Blog Aku Pingin Maju ini.
Seperti pantai-pantai lain di Gunung Kidul, di Jogan juga terdapat banyak karang dan bukit kapur. Bahkan, tempat yang kami injak saat itu, sebenarnya juga merupakan bukit kapur (gamping) dengan tebing yang terjal.
Menurut Wikipedia, keberadaan pegunungan kapur selatan tersebut, menandakan bahwa pada masa lalu, tempat itu merupakan dasar laut. Temuan-temuan fosil hewan laut purba, mendukung anggapan ini. Kawasan ini mulai menjadi daratan, akibat pengangkatan-pengangkatan tektonik dan proses vulkanik sejak zaman Miosen (Kala waktu geologi 23,03 juta - 5,332 juta tahun lalu).
Sebagai orang awam di bidang geologi, teori tersebut memang terasa muluk-muluk. Tetapi kita tentu masih ingat, tentang peristiwa memilukan, 27 Mei 2006 silam. Pagi itu, ketika sebagian penduduk baru mulai beraktivitas, sebuah gempa hebat melanda Daerah Istemewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Gempa berkekuatan 6,2 SR itu, mengakibatkan 6.234 orang tewas.
Menurut para ahli, gempa tersebut terjadi akibat pergerakan atau tumbukan lempeng Indoaustralia dan Euroasia. Pergerakan serupa, sebenarnya sudah terjadi sejak jutaan tahun silam, hingga perlahan-lahan mengangkat bagian selatan Pulau Jawa.
Bisa kita bayangkan, berapa juta kali gempa yang terjadi, untuk bisa mengubah dasar laut menjadi sebuah pegunungan kapur. Seandainya saat itu sudah banyak manusia, berapa yang menjadi korban. Sesungguhnya, manusia memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan alam. (Purwoko)
Segera kami mencari papan petunjuk arah bertuliskan “Pantai Jogan”. Setelah ketemu, segera mobil yang kami tumpangi berbelok ke kanan, masuk ke jalan sempit, menuju pantai yang belum terlalu populer tersebut.
Setiba di objek wisata milik warga itu, kelelahan setelah menempuh perjalanan sejak pagi dari Kota Semarang serasa terbayar. Meski sudah tiga kali datang ke tempat itu, deburan ombak itu tetap terdengar indah di telingaku.
Tanpa membuang waktu, aku bersama Punkie Dias istriku, adikku Diah Nurita, dan suaminya Edi Prasojo segera turun dari mobil. Mata kami bukan hanya disambut oleh ombak bergulung-gulung, tetapi juga air terjun yang langsung jatuh ke laut. Air terjun inilah yang menjadi salah satu keunggulan Pantai Jogan, dibanding pantai-pantai lain di kabupaten tersebut.
Beberapa pengunjung, terlihat memanfaatkan pemandangan itu untuk dijadikan latar foto. Sebagian nekat turun ke bawah, demi memperoleh gambar yang bagus. Ada pula pengunjung yang berdiri di karang, di atas jurang.
Bukit Gamping
Seperti pantai-pantai lain di Gunung Kidul, di Jogan juga terdapat banyak karang dan bukit kapur. Bahkan, tempat yang kami injak saat itu, sebenarnya juga merupakan bukit kapur (gamping) dengan tebing yang terjal.
Menurut Wikipedia, keberadaan pegunungan kapur selatan tersebut, menandakan bahwa pada masa lalu, tempat itu merupakan dasar laut. Temuan-temuan fosil hewan laut purba, mendukung anggapan ini. Kawasan ini mulai menjadi daratan, akibat pengangkatan-pengangkatan tektonik dan proses vulkanik sejak zaman Miosen (Kala waktu geologi 23,03 juta - 5,332 juta tahun lalu).
Sebagai orang awam di bidang geologi, teori tersebut memang terasa muluk-muluk. Tetapi kita tentu masih ingat, tentang peristiwa memilukan, 27 Mei 2006 silam. Pagi itu, ketika sebagian penduduk baru mulai beraktivitas, sebuah gempa hebat melanda Daerah Istemewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Gempa berkekuatan 6,2 SR itu, mengakibatkan 6.234 orang tewas.
Menurut para ahli, gempa tersebut terjadi akibat pergerakan atau tumbukan lempeng Indoaustralia dan Euroasia. Pergerakan serupa, sebenarnya sudah terjadi sejak jutaan tahun silam, hingga perlahan-lahan mengangkat bagian selatan Pulau Jawa.
Bisa kita bayangkan, berapa juta kali gempa yang terjadi, untuk bisa mengubah dasar laut menjadi sebuah pegunungan kapur. Seandainya saat itu sudah banyak manusia, berapa yang menjadi korban. Sesungguhnya, manusia memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan alam. (Purwoko)
Komentar
Posting Komentar
Kirim komentar ya, jangan lupa link-nya