Oleh Purwoko Adi Seno
“My ninth grade science teacher once told
me...
that if you put a frog in boiling water,
it'll jump out.
But if you put it in cold water and heat it
up gradually,
it'll just sit there and slowly boil to
death.”
“What's that, Harry? Your recipe for frog
soup?”
“It's my recipe for disaster.”
(“Guru ilmu alam di kesembilan kelas saya pernah
mengatakan, bahwa jika anda menaruh seekor katak dalam air mendidih, dia akan
langsung melompat keluar. Tetapi jika Anda memasukkannya ke dalam air dingin
dan kemudian dipanaskan secara bertahap, katak itu hanya akan duduk di sana dan
perlahan mendidih sampai mati.”
“Apa itu, Harry? Resep untuk sup katak?”
“Ini resep saya untuk bencana.”)
“Apa itu, Harry? Resep untuk sup katak?”
“Ini resep saya untuk bencana.”)
ITULAH sebuah penggal percakapan pakar gunung api Dr Harry Dalton yang diperankan Pierce Brosnan dan Wali Kota Dante's Peak, Rachel Wando yang diperankan Linda Hamilton. Mereka bermain dalam film Dante's Peak.
Disadari atau tidak, resep bencana
ala Pierce Brosnan tersebut, kini sedang terjadi di muka bumi. Bahkan
celakanya, jika saat ini tak berupaya, kita tidak akan menjadi orang yang
memasukkan katak ke dalam panci, melainkan kitalah yang akan menjadi si katak
malang itu.
Tanda-tanda bahwa kita sedang menuju
sebuah bencana besar, sebenarnya sudah mulai nampak saat ini. Berkali-kali,
alam mempertontonkan perilaku tidak wajar. Angin puyuh bertubi-tubi menghantam
berbagai wilayah di Pulau Jawa, Januari 2012 lalu adalah salah satunya.
Seperti diberitakan Kantor Berita
Radio Nasional (KBRN) atau Radio Republik Indonesia (RRI) Minggu, 29 Januari
2012 lalu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan bahwa telah terjadi
peningkatan puting beliung akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
Pemanasan global, menurut dia menyebabkan
volume awan Cumulus Nimbus (awan
penghasil hujan) juga meningkat. Awan tebal kehitaman inilah yang memproduksi
angin puting beliung.
Bukti lain bahwa pemanasan global
sedang terjadi dan banyak diteliti oleh para ahli, adalah pencairan es di
kutub. Mungkin kita membayangkan bahwa pencairan itu berlangsung pelan, seperti
ketika kita memasukkan es batu ke dalam teh.
Namun kenyataannya, peluruhan Beting
Es Wilkins di Antartika, 28 Febuari 2008 lalu tidaklah seperti itu. Seperti
dipublikasikan Antaranews.com (http://www.antaranews.com), Kamis, 27 Maret 2008, pulau es
seluas 13.000 km persegi itu tiba-tiba pecah, dan 415 km persegi di antaranya
masuk ke laut.
Volume es di kutub yang kian
berkurang, jumlah air tawar yang masuk ke samudra juga meningkat. Hal itu
mengakibatkan tingkat keasinan (salinitas) air laut juga berkurang.
Air laut yang makin tidak asin ini, menyebabkan
arus laut juga berubah. Padahal arus tersebut membawa aliran air hangat ke
wilayah yang lebih dingin, atau sebaliknya sehingga mempengaruhi cuaca di
berbagai belahan dunia. Itu pula yang menyebabkan alam mempertontonkan perilaku
yang tidak wajar, salah satunya salju yang turun di musim panas di Australia, Senin
20 Desember 2010 lalu.
Seperti dipublikasikan Kompas.com (http://sains.kompas.com/), saat itu matahari sedang berada
di selatan katulistiwa. Karena itulah seharusnya benua Kanguru sedang mengalami
musim panas. Namun pada cuaca yang seharusnya cerah itu, tiba-tiba berubah
karena salju turun.
Dampak lain yang dirasakan oleh
penduduk di negara-negara tropis, termasuk Indonesia adalah peningkatan
permukaan air laut, hujan yang makin ekstrem, dan puting beliung yang kian
sering terjadi.
Kenaikan permukaan air laut, bukan
hanya menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam, tetapi juga membuat rob di
wilayah pesisir makin tinggi dan sering terjadi.
Hujan yang makin ekstrem, dipadu
dengan kerusakan lingkungan, menimbulkan banjir yang makin besar dan bisa
mematikan. Hujan juga bisa memicu longsor, terutama di wilayah pegunungan dan
perbukitan.
Rentetan peristiwa menuju ke
kehancuran itu masih berlanjut. Berbagai bencana tersebut, bukan hanya
mengancam secara langsung pada keselamatan manusia.
Banjir juga mengancam ketahanan
pangan kita. Jika banjir melanda daerah-daerah pertanian, maka bisa jadi kita
akan mengalami krisis pangan akibat banyak sawah yang gagal panen.
Dari sektor kelautan pun, pemanasan
global mengancam sumber-sumber perikanan. Ketika atmosfer bumi menghangat, terumbu
karang juga akan terpengaruh. Terumbu karang adalah spesies yang sangat sensitif
terhadap perubahan suhu dan salinitas (keasinan). Apabila suhu naik 2 derajat
saja, mereka akan mati.
Para ilmuwan telah memperkirakan,
bahwa dalam 20 tahun mendatang, Great Barrier Reef akan kehilangan seluruh terumbu
karang. Padahal, terumbu karang memiliki fungsi sangat penting dalam ekosistem
laut, yakni sebagai tempat hidup ikan yang banyak dibutuhkan manusia dalam bidang
pangan.
Selain bencana-bencana tersebut,
pemanasan global juga memunculkan berbagai penyakit. Menurut data Organisasi
Kesehatan dunia (WHO), seperti dipublikasikan Kompas.com (http://nasional.kompas.com/), Sabtu, 15 November 2008 lalu, bahwa telah muncul 30
penyakit baru.
Dalam berita itu, Staf Khusus
Menteri Lingkungan Hidup, Amanda Katil Niode mengatakan peningkatan penyakit
ini akibat temperatur bumi terus meningkat. Penyakit-penyakit tersebut, antara
lain demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan.
Selain berbagai dampak tersebut, ada
satu fakta mengerikan, yaitu bahwa pemanasan global ternyata mengalami
percepatan. Seperti telah diketahui, pemanasan global menyebabkan es di kutub
kian cepat mencair. Seperti dipublikasikan Okezone.com (http://techno.okezone.com), Kamis, 25 Agustus 2011 lalu, sebuah penelitian
menggunakan model komputer terbaru yang dipimpin ilmuwan dari Department of
Energy’s Lawrence Berkeley National Laboratory menemukan, pencairan es
menyebabkan kawasan kutub bisa beralih fungsi dari penyimpan karbon menjadi sumber
penghasil karbon dioksida. Karbon tersebut, sebelumnya tersimpan dalam bentuk
beku. Namun akibat pemanasan global, karbon tersebut akan menguap kembali ke
atmosfer.
Padahal, karbon merupakan salah satu
gas yang bisa menyebabkan efek rumah kaca dan menyebabkan bumi menghangat.
Demikian seterusnya, hingga seperti bola salju yang kian membesar ketika
menggelinding turun.
Apa Itu ?
Lalu apakah sesungguhnya pemanasan
global itu ? Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global)
menggambarkan, suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat selama
seratus tahun terakhir.
Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) atau panel pemerintah untuk perubahan iklim menyebutkan, sejak 1990
hingga 2100 akan terjadi peningkatan suhu 1.1 °C hingga 6.4 °C.
IPCC menyimpulkan, sebagian besar
peningkatan suhu global tersebut disebabkan peningkatan konsentrasi gas-gas
rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidak-tidaknya 30
badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademisi sains nasional dari negara-negara
G8 (Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, Amerika Serikat, Kanada, dan
Rusia.)
Peningkatan suhu secara global ini,
terjadi akibat efek rumah kaca dari gas-gas yang menghalangi pancaran balik
panas dari bumi ke luar angkasa. Seperti diketahui, segala sumber energi di
Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi /
pancaran gelombang pendek, termasuk cahaya tampak.
Ketika cahaya ini sampai ke permukaan
Bumi, dia menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi akan menyerap
sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini berwujud
radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun akibat terhalang
gas-gas rumah kaca, sebagian panas terperangkap di atmosfer bumi dan menjaga
bumi tetap hangat.
Dalam kondisi normal, keberadaan
gas-gas rumah kaca, termasuk uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida, dan metana
sangat penting, untuk menjaga suhu bumi agar tetap pada rata-rata 15 °C.
Tanpa gas-gas seperti ini, bumi tidak
bisa dihuni oleh manusia karena pada siang hari suhunya bisa mencapai lebih
dari 33 °C dan malam hari -18 °C. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, di
atmosfer telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, sehingga
menyebabkan bumi makin panas.
Hal itu antara lain terjadi akibat
makin banyak pabrik-pabrik yang berdiri, demikian pula dengan jumlah kendaraan dan
penggunaan tenaga listrik. Semua itu merupakan konsekuensi dari pertambahan
penduduk dunia.
Pengaruh peningkatan gas CO2 di
atmosfer, sebenarnya dikurangi jika di lingkungan kita banyak terdapat pohon.
Seperti diketahui, proses fotosintesis pada tanaman memanfaatkan gas CO2 dan
memproduksi oksigen.
Namun sayangnya, kebutuhan akan kayu
dan lahan, menyebabkan pembalakan merebak. Hutan sering tidak dilihat sebagai
penyangga kehidupan, melainkan lumbung-lumbung ekonomi yang bisa dikeruk
semaksimal mungkin.
National Geographic Indonesia, Senin
31 Januari 2011 lalu memberikan sebuah gambaran menarik, yakni kesadaran publik,
baik personal maupun organisasi mengenai pentingnya hutan telah meningkat.
Namun ironisnya, angka penebangan hutan tropis, ternyata tidak menunjukkan
penurunan.
Analisis FAO (Food and Agriculture
Organization) menunjukkan kalau penebangan hutan hujan tropis naik sebanyak 8,5
persen pada periode 2000-2005. FAO memperhitungkan kurang lebih ada sekitar 10
juta hektare hutan tropis yang telah rusak secara permanen.
Dalam data. tertera bahwa Indonesia
menyumbang 17 persen dalam deforestasi ini. Hampir 2 juta hektare areal hutan
yang ditebangi dalam jangka lima tahun tersebut.
Hutan hujan tropis merupakan
ekosistem yang amat penting karena berperan sebagai rumah bagi separuh dari
spesies tumbuhan dan hewan di muka bumi. Ancaman bagi hutan hujan tropis
artinya ancaman pula bagi keanekaragaman hayati di Bumi. Hutan juga membantu
pemeliharaan iklim, dengan mengatur gas-gas pada atmosfer serta mempertahankan
stabilitas siklus air.
Kembali ke
Alam
Dengan semua kenyataan itu, adakah
upaya yang bisa dilakukan oleh manusia. Upaya yang bisa kita lakukan ternyata
cukup banyak, mulai dengan memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk tanaman.
Dalam skala lebih luas, gerakan
penanaman pohon untuk menghijaukan daerah kritis juga perlu dilakukan. Gerakan
ini, seharusnya tidak hanya menjadi acara seremonial. Tanaman yang telah
ditanam, mestinya juga dirawat hingga tumbuh besar dan memberikan manfaat.
Selain penghijauan, upaya lain yang
bisa dilakukan adalah memperkuat kemampuan angkutan umum massal. Dengan
angkutan ini, seharusnya penggunaan kendaraan pribadi bisa dikurangi, sehingga
gas-gas pencemar yang dikeluarkan juga
berkurang.
Upaya lain yang bisa dilakukan
adalah menghemat penggunaan listrik. Semakin banyak kita menggunakan listrik,
berarti semakin banyak pula arus yang harus diproduksi oleh pembangkit.
Padahal, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia, masih menggunakan
bahan bakar fosil berupa batu bara atau solar. Sehingga, semakin banyak listrik
digunakan, semakin banyak pula pencemaran yang terjadi.
Pertanyaan selanjutnya, akankah kita
hanya diam seperti katak yang direbus. Ataukah kita sudah harus melompat,
walaupun air dalam panci belum terlalu panas. (Dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar
Kirim komentar ya, jangan lupa link-nya