Simpang Lima 2012


photo 01 photo 01
photo 01
photo 01

SIMPANGLIMA yang kini merupakan pusat Kota Semarang telah berubah, dibanding enam tahun silam. Saat itu, dalam masa pemerintahan Sukawi Sutarip, kawasan ini sedemikian semrawut, padat, dan tidak tertata. Namun kini, di masa pemerintah Wali Kota Soemarmo HS, wajah kawasan itu telah berubah menjadi lebih indah dan nyaman.

Kawasan itu, pada 2005 silam, sulit untuk bisa menikmati kawasan itu. Trotoar dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), sehingga hak pejalan kaki pun terampas. Sementara jalan di dekatnya yang seharusnya bisa menjadi jalur lambat, kala itu juga sulit untuk dilalui sepeda dan sepeda motor, karena dipenuhi sepeda motor yang diparkir.

Setiap Sabtu malam dan Minggu pagi, trotoar di lapangan Pancasila juga tak nyaman. Pengunjung harus berdesak-desak dengan PKL yang menggelar dasaran di tempat itu. Jalan yang mengelilingi lapangan itu pun kerap macet.

Kendaraan yang melintas, harus sering memperlambat laju agar tidak menabrak penyeberang.
Suara Merdeka, Jumat, 13 Januari 2006 lalu memuat penjelasan pengajar arsitektur, permukiman, dan perkotaan Unika Soegijapranata, Ir Afriyanto Sofyan MT. Menurut dia, kepadatan dan kesemerawutan itu karena kawasan itu merupakan maghnet. Banyak orang datang ke kawasan itu untuk berbagai keperluan, seperti berbelanja, menginap di hotel, bekerja, mencari hiburan, atau sekadar lewat.

Menurut Afriyanto, Pemkot harus benar-benar mengendalikan pertumbuhan di kawasan tersebut. Termasuk dengan membatasi pembangunan gedung baru. Simpanglima saat ini sudah menjadi semacam ''superblok'', di mana di kawasan itu banyak terdapat gedung besar. Saat ini, di sebelah selatan lapangan Simpanglima sudah terdapat Mal dan Hotel Ciputra. Sementara itu, di sebelah timur terdapat Plasa Simpanglima dan Hotel Horizon.

Sebelah selatan lapangan itu, dulu adalah Bioskop Gajahmada. Namun, sekarang juga sudah menjadi pusat perbelanjaan Ramayana. Bangunan lama yang masih tersisa hanya tinggal STM Pembangunan dan Masjid Baiturrahman. Jika muncul pusat keramaian baru, hal itu bisa menjadi magnet baru yang menyebabkan orang makin tertarik datang ke Simpanglima.

Dia menyarankan agar tidak seluruh kegiatan terfokus di kawasan itu. Ada beberapa lokasi yang saat itu dipandang sebagai lokasi keramaian alternatif, antara lain PRPP di Tawang Mas.

Pendapat dan saran tersebut mungkin memang ada benarnya. Pertumbuhan gedung di kawasan itu memang tidak banyak. STM Pembangunan dan Masjid Baiturrahman masih tetap ada hingga kini. Demikian pula Gajahmada Plasa dan Plasa Simpang Lima (Matahari).

Toko swalayan Mickey Morse di sebelah selatan Plasa Simpanglima, kini juga lebih banyak mangkrak. Hanya sebagian toko di bagian bawah yang masih digunakan. Di sebelah selatan, yakni di bekas Gedung Bioskop Gajahmada, memang pernah berdiri Ramayana Departemet Store. Namun pusat perbelanjaan megah itu pun akhirnya harus tutup pada Januari 2010 dan digantikan oleh Ace Hardware.

Gedung pusat berlanjaan memang tumbuh silih berganti. Namun selama Sukawi Sutarip SH memimpin (19 Januari 2000-2010), kawasan itu tak pernah berubah. Baru setelah pasangan Drs H\ Soemarmo HS MSi dan Hendrar Prihadi SE MM memimpin, perubahan itu mulai terlihat. Artinya, kata kunci untuk ketertiban dan kenyamanan di kawasan Simpang Lima ternyata adalah penataan dan pembenahan infrastruktur.

Foodcourt
Walau mengorbankan jalur lambat, trotoar di Simpanglima kini dibuat menjadi selebar tujuh meter. Di tempat itu juga dibangun tempat berjualan untuk PKL makanan dengan konsep foodcourt. Area untuk PKL disediakan seluas 70 persen, sedangkan pedestrian hanya 30 persen.

Jika ditinjau dari sisi transportasi, pembagian seperti itu memang belum ideal. Namun bukankah kini sudah lebih baik. Dulu, trotoar sama sekali tak bisa digunakan oleh pajalan kaki. Sedangkan jalur lambat pun dipenuhi kendaraan parkir.

Bukan hanya itu, Jalan Pahlawan yang dulu juga dipenuhi PKL makanan, kini sudah kembali dinikmati oleh masyarakat. Pada Sabtu malam, menggunakan kawasan itu untuk berekspresi. Berbagai komunitas antara lain capoeira, pehobi mobil radio control, kelompok otomotif, sepeda, dan sepatu roda berkumpul dan unjuk kebolehan di kawasan itu.

Demikian pula pada Minggu pagi saat digelar Car Free Day. Warga bisa bersama-sama senam, dipandu instruktur dari Suara Merdeka. Perusahaan lain seperti Jamu Jago juga bisa menggelar kegiatan di lokasi itu. Semua itu sekaligus bisa menjadi hiburan gratis bagi masyarakat. Sungguh sebuah suasana yang dulu sulit untuk didapat. (*)
 

Komentar