rep: Suara Merdeka |
BENCANA banjir telah melanda berbagai daerah di Indonesia. Bukan
hanya merendam permukiman dan menghambat aktivitas warga, bencana ini juga
mengancam jiwa manusia. Seperti banjir bandang di Pati dan Grobogan, Sabtu 3
Desember 2011, tercatat tiga orang tewas.
Korban tewas di Pati, adalah
Rebo 75, warga Desa Prawoto dan Jasmi, 80, warga Desa Wegil, keduanya masuk
wilayah Kecamatan Sukolilo.
Pati,korban tewas adalah Rebo,
75, warga Desa Prawoto,Kecamatan Sukolilo. Rebo tewas akibat terseret banjir,
sedangkan Jasmi akibat tertimpa rumahnya yang ambruk.
Banjir bandang dengan jumlah
korban lebih banyak, pernah terjadi tahun 26 Januari 1990 di Kota Semarang. Sebelumnya,
selama beberapa hari hujan mengguyur Kota Semarang dan sekitarnya. Dan dini
hari itu, di saat warga masih terlelap dan para buruh pabrik di Panjangan
menekuni pekerjaan mereka, tiba-tiba air bah datang menerjang.
Air yang mengalir deras, bukan
hanya membawa lumpur tetapi juga batu, potongan kayu, dan berbagai material
lain. Permukaan air meninggi dengan cepat, hingga mencapai atap rumah. Listrik
yang tiba-tiba padam, membuat suasana makin mencekam.
Jerit tangis dan lolongan orang
minta tolong terdengar di mana-mana. Ada teriakan yang semula terdengar jelas,
namun kemudian perlahan-lahan menjauh di susul teriakan lain. Dibanding
kekuatan alam itu, manusia seakan-akan tak berarti. Jangankan harta benda,
nyawa pun banyak yang tak terselamatkan. Jumlah korban kala itu hampir 100
orang dan masuk bencana berskala nasional.
Keesokan harinya ketika saya
datang, yang tersisa hanya kepiluan. Tak banyak lagi suara tangis yang
terdengar. Namun banyak korban selamat, saat itu sudah tak lagi bisa
berkata-kata. Bukan karena suara telah habis, tetapi akibat duka mendalam yang
sungguh berat untuk mereka tanggung.
Saya bukanlah saksi mata untuk
peristiwa itu. Tetapi dari berbagai kisah yang dituturkan oleh para korban,
saya bisa merasakan kedukaan yang amat mendalam. Dalam tiga hari ketika memberikan
pertolongan kepada mereka (dalam kapasitas saya sebagai relawan Palang Merah
Indonesia), saya juga selalu menangkap kedukaan itu. Sungguh sebuah kenangan
pahit, yang tidak akan pernah terlupakan, bahkan hingga kini.
Kenangan itu pula yang membuat
saya terus berusaha mempelajari, mengapa peristiwa alam tersebut bisa terjadi.
Dari berbagai literatur dan buku yang ditulis oleh para ahli hidrologi, tahulah
saya bahwa ada dua penyebab utama banjir bandang di Semarang tersebut.
Faktor pertama, adalah hujan
lebat yang mengguyur dalam beberapa hari dan mengakibatkan debit air meningkat.
Peningkatan debit air tersebut juga akibat perubahan tata guna lahan di daerah
hulu, yakni lereng Gunung Ungaran, baik di wilayah Kabupaten Semarang maupun
bagian selatan Kota Semarang (termasuk Gunung Pati).
Walau penyebab banjir tersebut
sudah diketahui, namun dari tahun ke tahun tak nampak ada perbaikan kondisi
secara signifikan. Perubahan tata guna lahan di daerah hulu, bukannya berhenti,
tetapi justru terus melaju. Lahan-lahan yang semula hijau karena digunakan
untuk perkebunan, hutan, dan sawah secara berangsung-angsur beralih menjadi
permukiman dan industri.
Seandainya, perbaikan dengan
melakukan penghijauan dilaksanakan pun, ancaman banjir bandang tak serta merta
hilang karena tetumbuhan yang ditanam, tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk tumbuh. Apalagi kalau tetumbuhan yang ada, justru dibabat demi alasan
ekonomi.
Pemerintah, tahun 2011 ini
memang sedang membangun Waduk Jatibarang di Kecamatan Gunungpati. Alasan
pemerintah, waduk tersebut bisa mencegah banjir bandang, seperti yang terjadi
tahun 1990 lalu.
Benarkah demikian ? Saya
menjadi skeptis dengan alasan tersebut. Bahkan tersirat dugaan, bahwa alasan
tersebut hanya dijadikan pembenar agar proyek senilai Rp 1,6 triliun tersebut
bisa terealisasi.
Keraguan tersebut muncul,
karena dalam salah satu bagian situs
Pemerintah Kota Semarang disebutkan bahwa Kali Garang mempunyai debit 53,0 %
dari debit total, kali Kreo 34,7 %, dan Kali Kripik 12,3 %. Sebanyak 100 %
debit tersebut masuk ke Banjirkanal Barat yang bermuara di laut Jawa.
Dari keterangan tersebut, terlihat
bahwa Kali Garang memiliki debit paling besar, sedangkan Kali Kreo menempati
urutan kedua. Jika waduk dibangun di Kali Kreo, maka hanya debit air di sungai
itulah yang bisa dikendalikan, namun tidak dengan Kali Garang dan Kali Kripik.
Hal itu berarti ancaman banjir bandang di Panjangan dan sekitarnya masih tetap
ada. (Purwoko)
Komentar
Posting Komentar
Kirim komentar ya, jangan lupa link-nya