Ancaman dari Waduk Jatibarang


PADA tulisan sebelumnya, saya mengemukakan karaguan tentang manfaat Waduk Jatibarang yang saat ini sedang dibangun Pemerintah di Kota Semarang. Keraguan tersebut, sebenarnya bukan hanya karena waduk tersebut dibangun di sungai yang debitnya hanya terbesar kedua, tetapi juga lokasinya berada di daerah patahan.
Jika dihubungkan dengan kondisi geologi tersebut, waduk tersebut juga menyimpan risiko untuk gagal. Kata “gagal” dalam hal ini bukan sekadar tidak berfungsi, tetapi bisa pula berarti jebol. Kalau itu terjadi, maka bisa dibayangkan lebih dari 20 juta meter kubik air akan menggelontor bagian bawah.
Peristiwa kegagalan atau bendungan jebol sudah berkali-kali terjadi di seluruh dunia. Wikipedia mencatat, beberapa bendungan yang pernah jebol adalah South Fork (1889), St Francis (1928), Vajont (1961), Baldwin Hills (1963), Buffalo Creek Flood (1972), Banqiao and Shimantan (1975), Teton (1976), Kelly Barnes (1977), Lawn Lake (1982), Opuha (1997), dan CamarĂ¡ (2004).
Di Indonesia, peristiwa serupa juga pernah terjadi di Situ Gintung, Ciputat, yang merupakan perbatasan DKI Jakarta dan Banten, Jumat 27 Maret 2009 sekitar pukul 02.00. Situs Berita Kompas melaporkan, peristiwa itu bukan hanya menyebabkan rumah-rumah warga dilanda air bah, tetapi juga menyebabkan 100 orang meninggal.
Belajar dari berbagai peristiwa tersebut, saya juga tidak akan berani mengatakan bahwa Waduk Jatibarang 100 persen aman. Kekhawatiran tersebut dilandasi fakta, bahwa lokasi waduk tersebut berada di dekat patahan geologis.
Adanya patahan tersebut, disampaikan Ketua Program Studi Teknik Geologi Undip Ir Dwiyanto JS MT. (Suara Merdeka, Senin, 11 April 2005). Menurut dia, patahan tersebut memang sudah tidak aktif. Kalaupun ada pergerakan, hal itu bisa diatasi dengan penyuntikan semen ke dalam tanah (grouting). ''Meski ada patahan, struktur batuan di sekitar Kali Kreo cukup kuat. Apalagi pada kedalaman 20 meter terdapat lapisan lempung yang kedap air. Lapisan ini memungkinkan air dalam waduk tidak merembes ke luar,'' kata dia.
Tetapi, apakah patahan tersebut akan selamanya tidak bergerak ? Pertayaan itulah yang seharusnya dijawab, karena fakta menunjukkan bahwa selalu ada kemungkinan dari sesuatu yang semula dianggap tidak mungkin.
Kita tentu belum lupa akan tragedi gempa bumi, 26 Desember 2004, di Samudra Hindia, lepas pantai barat Aceh. Peristiwa pergerekan lempeng bumi tersebut, mengakibatkan gelombang tsunami yang menerjang berbagai negara. Hingga kini, jumlah pasti korban tewas akibat bencana itu tak pernah diketahui pasti. Namun diperkirakan mencapai lebih dari 230.000 orang tewas di 8 negara, yaitu Indonesia, Sri Lanka, India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia.
Bukan hanya jumlah korban manusia dan kerusakan yang membuat peristiwa itu sedemikian menakjubkan, tetapi juga kekuatan gempa tersebut. Pada awalnya, Badan Meteorologi dan Geofisika (sekarang bernama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menetapkan gempa tersebut berkekuatan 9,0 skala magnitude. Namun kemudian United States Geological Survey (USGS-Badan Survey Geologi Amerika Serikat menetapkan) menetapkan getaran gempa tersebut menjadi  9.1 skala magnitude.
Fakta yang menakjubkan dari peristiwa itu adalah, getaran gempa tersebut ternyata bisa mempengaruhi sesar atau patahan yang jaraknya mencapai ribuan kilometer. Seperti diberitakan Science Daily, 10 Desember 2008 silam, gempa di Samudra Hindia tersebut ternyata mempengaruhi sesar / patahan San Andreas di San Fransisco, California, Amerika Serikat. Padahal jarak antara Episentrum gempa Samudra Hindia dengan San Andreas hampir mencapai 9.000 mil atau sekitar 10 ribu km.
Temuan para ahli ini menjadi fakta penting, karena sebelumnya belum pernah diketahui ada gempa yang berjarak hingga 10 ribu km mampu mereaktivasi sesar San Andreas. Apalagi San Andreas dan episentrum gempa Sumatera tidak berada di lempeng yang sama. Getaran gempa itu bahkan melalui tiga lempeng, yakni Eurasia, Filipina, dan Pasifik.
Sebelum gempa Aceh (2002), memang pernah ada gempa lain yang mereaktivasi sesar San Andreas, yakni gempa Denali dengan episentrum di Alaska. Jarak Alaska dengan California sekitar 4.000 kilometer.
Nah... kalau gempa Samudra Hindia mampu mempengaruhi sesar / patahan San Andreas yang berjarak 10 ribu km, bagaimana dengan sesar Kreo di Semarang yang berjarak kurang dari 2.000 km. Jangan lupa pula, bukan hanya gempa Samudra Hindia yang pernah mengguncang Indonesia.
Pada 17 Juli 2006, di Samudra Hindia sebelah selatan Jawa (107°, 19° BT atau 9.334 S, 107.263 E) juga terjadi gempa hebat berkekuatan 7,7 skala magnitude (USGS) dan menyebabkan tsunami yang menerjang Pangandaran Jawa Barat dan Cilacap Jawa Tengah. Jarak episentrum gempa dengan Semarang, hanya berkisar 434 km atau 270 mil.
Kita tentu juga belum lupa ketika 27 Mei 2006 lalu, terjadi gempa di bagian selatan Jawa berkekuatan 6,2 magnitude scale (USGS). Gempa dengan episentrum di 7°5743S 110°2729E / 7.962°S 110.458°E / -7.962; 110.458 tersebut mengakibatkan Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah luluh lantak. Jarak episentrum gempa tersebut dengan Kota Semarang hanya 112 km atau 69 mil.
Jangan lupa, episentrum gempa Aceh, Pangandaran, dan Yogyakarta juga berada pada satu lempeng yang sama dengan sesar Kreo. Dengan fakta-fakta semacam itu, tidak adakah kemungkinan sesar kreo yang semula dikatakan telah mati akan bergerak kembali ? Segala kemungkinan itu tetap ada.
Namun sampai tulisan ini dibuat, penulis belum pernah menerima informasi tentang penyelidikan resmi tentang pengaruh gempa-gempa tersebut pada sesar di Waduk Jatibarang. Apakah pemerintah memang tidak bersedia melakukannya, karena khawatir akan memberikan hasil negatif sehingga pembangunan waduk tersebut terpaksa dihentikan atau setidaknya direncanakan ulang.
Ataukah pemerintah memang tidak peduli, bangunan itu bakal jebol atau tidak. Toh kalau memang akhirnya waduk itu jebol, pemerintah hanya akan mengatakan itu bencana alam dan kemudian memberikan bantuan, sembari menyatakan keprihatinan demi pencitraan.
Rakyat yang selama ini menerima dampak dari berbagai proyek mengatasnamakan pembangunan, memang cenderung tidak berdaya. Namun dengan tulisan ini, setidak-tidaknya mereka (rakyat) memperoleh peringatan itu, sehingga tidak selalu dibodohi dan dibohongi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan modal. (*)

Komentar

Posting Komentar

Kirim komentar ya, jangan lupa link-nya