Sebuah Pelajaran dari Tabrakan di Tugu Tani

 
photo 01 photo 02 photo 03


TRAGIS nian nasib orang-orang yang siang itu berada trotoar di Jalan MI Ridwan Rais, arah Tugu Tani atau tepat di depan Gedung Kementerian PerdaganganJakarta Pusat.

Saat itu Daihatsu Xenia B 2479 XI yang dikemudikan Afriyani Susanti (29), melaju hingga 60-70 Km per jam dari arah Hotel Borobudur di Lapangan Banteng menuju Tugu Tani. Di depan Gedung Kemendag, kendaraan oleng kemudian banting setir ke kiri dan menabrak pejalan kaki di trotoar, serta merusak halte bus di depan Gedung Kemendag. Sembilan orang tewas akibat peristiwa itu.

Mereka adalah Moch Hudzaifah alias Ujay (16), Firmansyah (21), Suyatmi (51), Yusuf Sigit (2,5), Ari (16), Nanik Riyanti (25), Pipit Alfia Fitriasih (18), Wawan (18), dan Indra (11).

Dalam rangkaian peristiwa itu, ada sebuah fragmen yang menurut penulis sangat penting. Yaitu kesempatan hidup Yusuf Sigit, balita berusia 2 tahun enam bulan. Saat itu, Teguh Hadi Purnomo (31), ayah Yusuf sempat berusaha melarikan anaknya ke rumah sakit.

''Yusuf masih bernafas dan detak jantungnya masih terasa ketika saya bawa ke rumah sakit,'' kata Teguh, pada Republika di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Ahad (22/1) malam. ''Tapi sayang, akhirnya nyawa Yusuf tidak tertolong.''

Mungkinkan, Yusuf meninggal akibat terlambat ditolong ? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun seperti kita tahu, korban berbagai kecelakaan di Indonesia, sering tidak memperoleh pertolongan yang cepat, tepat, dan layak.

Kebanyakan, pertolongan diberikan oleh warga awam di sekitar lokasi kejadian. Padahal umumnya mereka yang tidak mengetahui teknik pertolongan pertama yang benar. Karena rasa kemanusiaan, mereka membantu sebisanya, yakni dengan sesegera mungkin membawa korban ke rumah sakit.

Saya tak hendak menyalahkan upaya warga untuk menolong sesamanya. Bahkan saya angkat topi, karena pada zaman sekarang ini sulit untuk menemui orang yang peduli pada sesamanya.

Namun, mungkin saja jumlah korban meninggal dalam kecelakaan massal akan bisa ditekan, apabila pertolongan yang diberikan bisa cepat dan tepat. Hal ini tentu bukan merupakan tanggung jawab warga semata. Negara seharusnya memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memberikan jaminan keselamatan bagi warganya.

Karena itu pula, sudah saatnya setiap kota di Indonesia memiliki layanan emergency call terpadu, seperti 911 di Amerika. Indonesia, sebenarnya sudah memiliki nomor-nomor emergency call, seperti 110 untuk polisi, 113 untuk pemadam kebakaran, dan 118 untuk ambulance. Namun emergency call ini sangat berbeda dengan Amerika. Di negeri Paman Sam itu, dalam keadaan darurat warga cukup memencet 911 dan nantinya operator akan mengarahkan ke ambulance, polisi, atau pemadam kebakaran. Sedangkan di Indonesia, untuk memanggil bantuan dari ketiga instansi itu, warga juga harus menghubungi tiga nomor. Padahal, dalam keadaan sangat genting, orang mungkin akan lupa harus menghubungi nomor berapa.

Selain Emergency Call dan sistem pertolongan yang terpadu, sudah saatnya Pemerintah mengkampanyekan teknik-teknik pertolongan pertama. Hal ini bisa dilakukan dengan melatih semua PNS termasuk guru, Satpol PP, Pemadam Kebakaran, Lurah, dan Camat agar mahir memberikan pertolongan pertama. Kemampuan serupa juga harus dimiliki setiap anggota TNI dan Polri.

Setelah itu, para guru dan dosen bisa menularkan keterampilannya kepada pelajar dan mahasiswa. Bahkan jika perlu, keterampilan memberikan pertolongan pertama, masuk dalam kurikulum di sekolah.

Para lurah dan camat, juga bisa melatih warga agar memiliki keterampilan dalam memberikan pertolongan. Demikian pula dengan para perempuan, dalam wadah PKK.

Latihan berkala seperti ini penting, bukan hanya untuk berjaga-jaga saat terjadi kecelakaan, tetapi juga untuk menolong korban bencana. Kita tentu tidak ingin kehilangan anggota keluarga, sahabat, kekasih, dan orang-orang terdekat. Karena itu, dengan menguasai teknik pertolongan, bisa jadi kitalah yang akan menyelamatkan mereka, saat kecelakaan terjadi. (*)

Komentar